Margins
10 Bersaudara Bintang Al Qur’an book cover
10 Bersaudara Bintang Al Qur’an
2009
First Published
4.28
Average Rating
150
Number of Pages

Highly-recommended. Inspiring book. Kalau akhir-akhir ini beberapa postingan saya baik di multiply maupun facebook banyak yang bertema keluarga, it’s taken from this book. Buku ini cocok dikonsumsi oleh orangtua, guru, calon orang tua, para bujang lapuk, juga dara-dara yang gemar mencuci baju. Buku ini tidak hanya berkisah, tapi juga sukses membagikan ide dan inspirasi. Menuturkan kisah nyata dari pasangan Ustadz Mutamimul ‘Ula (Ust. Tamim) dan Ibu Wirianingsih (Ibu Wiwi) yang berhasil membesarkan 10 orang anak-anaknya menjadi hafiz-hafizah al-Quran yang tidak hanya cerdas secara ukhrawi, tapi juga cerdas secara duniawi. Baik Ustadz Tamim dan Ibu Wiwi sebenarnya bukan seorang hafiz-hafizah. Ust. Tamim hanya memiliki hafalan sekitar 3 hingga 5 juz, sementara Bu Wiwi baru menghafal 2 juz. Lantas bagaimana mereka bisa mendidik putra-putrinya menghafalkan al-Quran? Jawabannya sederhana, tapi memiliki makna dan perjuangan luar biasa. Keyakinan yang kuat dan kecintaan untuk kembali kepada al-Quran itu saja yang mendasari pasangan ini untuk membuat anak-anaknya menjadi penghafal al-Quran. Ke semua anak-anaknya sejak masa kanak-kanak telah dikenalkan dan bergaul secara intensif bersama al-Quran. Ust. Tamim dan Bu Wiwi sendiri yang merancang kurikulum berbasis al-Quran bagi putra-putrinya. Mereka berprinsip bahwa pendidikan anak adalah tugas terintegrasi antara Ayah dan Ibu. Sang Ayah haruslah seseorang yang memiliki visi besar tentang pendidikan dan Ibulah yang akan menjalankan misinya, mengisi kerangka. Bagaimana Bu Wiwi bisa memiliki pandangan seperti itu? Lagi-lagi dia menyandarkan diri pada al-Quran dan sunnah, dan sirah nabawiyah. Ketika al-Quran berbicara tentang pendidikan anak, yang pertama kali diceritakan adalah kisah Luqman. Dia adalah Ayah yang mengajarkan tauhid pada anaknya. “Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13) Tauhid adalah basis kehidupan beragama. Luqman, sebagai Ayah, menanamkan visi tauhid itu kepada anaknya. Begitupun Nabiyullah Ibrahim yang berhasil menanamkan keyakinan pada anak dan istrinya sehingga dapat menerima keputusan Allah swt. Hanya logika keimananlah yang dapat membawa mereka tetap berjuang teguh dijalan-Nya. Kisah-kisah inspiratif dari al-Quran tersebut yang membuat Bu Wiwi dan suaminya bertekad bahu membahu mewujudkan impian mereka. Baik Bu Wiwi dan Ustadz Tamim bukanlah orang-orang yang tidak sibuk, mereka sepasang aktivis yang telah lama berkecimpung didunia dakwah. Bu Wiwi yang pernah tercatat sebagai pengurus besar PII (Pelajar Islam Indonesia) Jawa Barat sekarang menjabat sebagai Ketua SALIMAH dan staff Kaderisasi DPP PKS, aktif di ASA (Aliansi Selamatkan Anak Bangsa) sebagai ketua, dan presidium BMOIWI. Begitu juga Ustadz Tamim, pernah tercatat sebagai mantan Ketua Pengurus Besar PII dan sekarang aktif sebagai legislator DPR Ri fraksi PKS. Rumah merekapun sejak awal telah direncanakan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ditengah-tengah kesibukan Bu Wiwi masih sempat mengundang anak-anak tetangga untuk belajar al-Quran. Tetangga adalah saudara terdekat dan sesikit banyak mempengaruhi pol piker dan prilaku anak-anaknya. Karena itu, sebelum saudara terdekat itu memberikan pengaruh yangtidak sesuai dengan visi. Misi dan konsep keluarga yang diyakininya, Bu Wiwi segera menebar pengaruh pada mereka. Sebuah langkah cerdas yang penuh hikmah. Pendidikan anak bukanlah tanggung jawab seorang Ibu saja. Itu adalah keyakinan istimewa yang diyakini Ust. Tamim dan Bu Wiwi. Pendidikan anak adalah tanggung jawab orangtua. Dalam konsep pemikiran mereka, Ayah adalah peletak dasar pertama dan pemberi arah bagi pendidikan anak dan keluarganya. Baru setelah itu, Ibu menjadi pelaksana bagi konsep dasar dan filosofi dari pendidikan anak ditengah-tengah keluarga. Jika komitmen telah tertanam kuat, hasil bisa diuji dan dibuktikan dengan amaliah. Segala yang tidak dipertaruhkan mustahil mendapatkan kemenangan. Visi yang kuatlah jawabannya. Visi menjadi pondasi bagi sebuah cita-cita besar dalam proses pembimbingan putra-putri Ust. Tamim dan Bu Wiwi. Visi yang begitu kuat diyakini, dikembangkan menjadi tahapan-tahapan misi serta rencana strategis untuk mencapainya. Visi yang mereka tekadkan sudah jelas, yakni putra-putri mereka harus tumbuh menjadi penghafal al-Quran. Mereka kemudian merancang misi itu bersama-sama. Lagi-lagi, dorongan itu terletak kepada keyakinan. Keyakinan bahwa saat seorang anak yang memiliki bacaan, hafalan dan intensitas dalam berinteraksi al-Qurannya bagus, semuanya akan bagus. Artinya, prestasi duniawi pun akan bergerak mengikuti prestasi ukhrawi berupa kemampuan menghafal al-Quran. Ust. Tamim meyakini bahwa al-Quran adalah ilmu dasar bagi segala ilmu. Al-Quran berbicara tentang biologi dalam banyak ayat, tentang astronomi, tentang sastra, dan berbagai dasar ilmu lainnya. Al-Quran akan membantu memahamkan apapun ilmu duniawi yang akan ditekuni putra-putrinya kelak di kemudian hari. Memulai dari diri kemuadia keluarga, sebuah prinsip yang tidak hanya teori saja, tetapi secara konsisten diterapkan dalam keluarga Ust. Tamim dan Bu Wiwi. Ditengah-tengah kesibukan Ust. Tamim yang luar biasa sebagai legislator, dai dan anggota masyarakat, keluarga tetap menjadi pusat perhatiannya. Ust. Tamim menyadari, keluargalah tempat menyemai peradaban yang sebenarnya. Sering kita lihat dalam realitas, bahwa banyak putra-putri dai-daiyah ataupun tokoh masyarakat tidak mampu mewarisi keteladana orangtuanya dimasyarakat dan tidak mampu meneruskan kepemimpinan orangtuanya. Apa kunci keluarga Ust. Tamim? Keseimbangan proses. Walaupun mereka berdua sibuk tapu mereka memiliki jadwal ruhiyah dalam keluarga, pun mereka menjalankan funsi control selaku orangtua dalam dalam ibadah putra-putrinya. Berinteraksi dengan al-Quran berhasil ditanamkan sebagai kebiasaan putra-putri mereka sehingga takdir menjadi para penghafal al-Quran menjadi hak mereka. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Stephen Covey, seorang pakar kepribadian, “Tanamlah kebiasaan maka engkau akan menuai takdir.” Kedekatan dengan putra-putrinya dibangun Ust. Tamim dengan media komunikasi dan dialog intensif sejak mereka masih kanak-kanak. Kecenderungan anak-anak untuk menanyakan apa saja yang ingin diketahui mereka direspons Ust. Tamim dengan menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Ust. Tamim berperan sebagai Ayah sekaligus teman diskusi bagi anak-anaknya. Dia menganggap anak-anak seperti pita kosong yang siap diisi oleh apa saja, sesuai fitrahnya. Lengkapnya baca bukunya aja ya. It’s very highly-recommended :D Trust me. *untuk yang di Batam, aku belinya di Fatahillah, Panbil Mall Batam. Ini cetakan ketiga sih. Harganya sekitar 25.000-27.000. Lupa -__-“ dah lama sih. Baru sempet keposting hari ini.

Avg Rating
4.28
Number of Ratings
168
5 STARS
54%
4 STARS
31%
3 STARS
10%
2 STARS
2%
1 STARS
4%
goodreads

Authors

Izzatul Jannah
Izzatul Jannah
Author · 16 books

Izzatul Jannah adalah nama pena dari Setiawati Intan Savitri. Karya pertamanya dimuat di majalah Ananda ketika duduk di kelas V SD. Mulai menulis cerita Islami pada tahun 1992, sejak berinteraksi intens dengan kajian dan dakwah Islam. Telah menulis sekitar 50 cerpen lebih yang dimuat di Annida, Ummi, Ishlash, dan belasan artikel lepas tentang keislaman. Pernah menjadi juara III LMCPI I Annida, juara harapan LMCPI IV Annida, serta termasuk nominator cerpenis favorit versi Annida.

Muhammad Irfan Hidayatullah
Muhammad Irfan Hidayatullah
Author · 2 books

Muhammad Irfan Hidayatullah lahir di Tasikmalaya, 3 Maret 1973. Ia menyelesaikan pendidikan TK sampai SMA-nya di kota kelahirannya itu. Namun, setiap libur pendek maupun panjang, ia habiskan di rumah ayah-ibunya di tepi Pantai Pangandaran. Ia memang besar, selain dalam didikan ayah-ibu tercintanya, juga dalam asuhan kakek-neneknya di Tasikmalaya. Pada kultur dua ruang itulah (Tasikmalaya dan Pangandaran) ia tumbuh. Setelah selesai SMA, ia lantas menyelesaikan kuliah sarjananya di Jurusan Sastra Indonesia Unpad tempat ia sekarang bekerja sebagai dosen. Saat ini penulis tercatat sebagai mahasiswa S3 Pascasarjana Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI setelah pada tahun 2006 ia raih gelar magister Humaniora di tempat yang sama. Adapun karya-karya tertulisnya telah dibukukan sejak tahun 2000 sampai sekarang baik dalam bentuk antologi bersama karya bersama anggota Forum Lingkar Pena (FLP) lainnya dan essay akademis bersama dosen-dosen Fakltas Sastra Unpad, maupun dalam bentuk karya sendiri berupa kumpulan cerpen sampai kumpulan puisi, yaitu Kumpulan Cerpen: Dari Ruang Tunggu (DAR! Mizan, 2003), Kutunggu Kau di Mal (Zikrul Hakim, 2006), Jangan-Jangan Kau Bukan Manusia (Indiva, 2009). Novel: Dan Gue Bukan Robot (Lingkar Pena Publishing House, 2004), Cermin Retak (Dar MIzan, 2005), Diari Minni (GIP, 2006), Tabir (Sinergi, 2009). Kumpulan Puisi: Perjalanan yang Bulan (Pustaka Latifa, 2007). Kumpulan Kisah: Perempuan Bersayap Surga (Dar Mizan, 2007). Ada juga karya nonfiksinya berjudul My Wife My Princess; Trik Jitu Mencintai Istri Apa Adanya (GIP, 2009). Selain dalam bentuk buku artikel, esai, cerpen, dan puisinya pernah dimuat di media-media lokal maupun nasional: Pikiran Rakyat, Radar Bandung, Republika, Sabili, Annida, dll. Irfan juga pernah diberi kesempatan untuk mengasuh kolom Cakrwala di majalah Annida sejak 2007-2009. menulis esai di kolom Literary Zone majalah Girlyzone (2009). Selain menulis, ia juga kerap didaulat untuk menjadi redaktur jurnal ilmiah (Jurnal Musiologia (2008), Jurnal Metahumaniora (2009-2010)) dan majalah Ruang Makna (2011). Keseharian Irfan selain bekerja juga berkomunitas di Forum Lingkar Pena dan Komunitas Sabtu Buku. Adapun kreativitas bermusiknya ia salurkan melalui kelompok vokal (nasyid) Mupla yang ia dirikan bersama beberapa teman kuliahnya sejak 1995.

548 Market St PMB 65688, San Francisco California 94104-5401 USA
© 2025 Paratext Inc. All rights reserved