
Jagat fiksional Triyanto bukanlah semesta pemberian alam, bukan dunia yang dimimesis dan diciptakan begitu saja dari kaca kenyataan dengan sapuan naluri dan insting atau bakat, bukan sekadar gema dari jagat kecil yang bersipongang dengan jagat besar, melainkan sebuah jagat yang diperkaya dan dicerahkan, dunia hasil pergumulan yang keras dalam pertempuran habis-habisan dan sine missione antara pengarang dan kata-kata, antara pengarang dan kenyataan, dan (terutama) antara pengarang dan dirinya sendiri. Alhasil kita menemukan dalam fiksi mini terbaik Triyanto dunia yang dibebaskan dan membebaskan, yang melampias dari dirinya dan meluber melipah ke mana-mana, secara tak disangka-sangka, tak tertahankan, berlimpahan, bergantungan, dan tak pernah rampung, berkelit dari tafsir, diam atau bergerak, hening atau bising, tumpah ruah tak habis-habisnya, tertangkap tapi kemudian lepas, mengembang lalu menguncup, atau membukakan diri tapi tak terdedah secara penuh seluruh, berlesatan tapi kadang melingkar menggulung kembali pada dirinya sendiri, penuh dan suwung pada saat yang besertaan, berhamburan sekaligus berdiri tenang bagikan burung di telapak tangan. — Tia Setiadi, penyair dan kritikus
Author

Triyanto Triwikromo (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964; umur 50 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Redaktur sastra Harian Umum Suara Merdeka dan dosen Penulisan Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, ini kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di Lampung (2003). Ia juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang (1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta (2003), dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia. Cerpennya Anak-anak Mengasah Pisau direspon pelukis Yuswantoro Adi menjadi lukisan, AS Kurnia menjadi karya trimatra, pemusik Seno menjadi lagu, Sosiawan Leak menjadi pertujukan teater, dan sutradara Dedi Setiadi menjadi sinetron (skenario ditulis Triyanto sendiri). Penyair terbaik Indonesia versi Majalah Gadis (1989) ini juga menerbitkan puisi dan cerpennya di beberapa buku antologi bersama.