
Assalamu’alaikum, Terima kasih telah berkenan membuka lembaran buku ini. Sebuah risalah dari keluarga sederhana. Isinya merupakan rekaman hari-hari yang saya jalani sebagai Ibu dari dua anak. Ada juga beberapa catatan dari Ayah. Kebahagiaan, kesedihan, kecemasan, kegamangan, ‘kepanikan’ bahkan kekurangan kami sebagai orang tua, khususnya saya sebagai bunda terabadikan di sini. Sebagai pasangan muda, bisa dibilang kami memulai segalanya dengan sangat sederhana. Apa yang dialami kebanyakan pasangan di tanah air, lebih kurang mungkin kami rasakan juga. Baik saya dan suami berasal dari keluarga sederhana. Ketika menikah, Bang Isa masih belum selesai kuliah, dan bekerja paruh waktu di sebuah lembaga kebudayaan asing. Dalam upaya mandiri, kami sempat tinggal di sebuah rumah sederhana milik keluarga, sebelum kemudian mengontrak dari rumah mungil yang satu ke rumah mungil lain. Kami mengalami kepanikan saat anak pertama hadir, sementara biaya rumah sakit yang diperkirakan tertutupi ternyata masih jauh dari cukup. Kami melalui juga ‘bisnis’ simpan pinjaman (bukan simpan pinjam J) bertahun-tahun. Saya masih mengingat hari-hari menunggu juru taksir perhiasan di pegadaian mengira-ira berapa uang yang bisa dipinjamkannya kepada saya berdasarkan cincin atau gelang anak (maaf ya, Ca), yang kami gadaikan. Tetapi dalam keadaan begitu, seingat saya … kami santai-santai saja. Masih bisa bercanda, seperti jika saya baru pulang dari pegadaian, “Dari mana, Bunda?” “Biasa, Ayah … dari ‘sekolahan’.” Kalimat yang disambut senyum Bang Isa, “Kasihan Bunda, dari sekolahan bertahun-tahun, masih belum lulus juga.” Saya tidak melupakan hari-hari itu, tetapi keresahan karena beban ekonomi luntur karena kebersamaan dengan anak-anak. Kehadiran Caca dan Adam, sungguh karunia luar biasa. Hari-hari membesarkan anak-anak merupakan ‘sekolah’ bagi saya, sekaligus hiburan. Dan sejauh ini apa yang saya harapkan ada pada anak-anak, alhamdulillah Allah berikan. Karenanya hal-hal lain yang tidak sempurna, kami jalani dengan lebih ringan. Caca dan Adam yang sering sakit ketika kecil, bahkan hanya karena hal-hal sepele. Jangankan permen atau cokelat, makan rambutan satu biji, bisa membuat kami harus membawa mereka bolak balik ke dokter. Berenang sekalipun hanya sebentar bisa berujung sakit serius. Tetapi kondisi itu memberi semangat bagi saya untuk berusaha menjaga anak-anak sebaik mungkin. Kadang-kadang agak paranoid, saking kekhawatiran saya yang besar jika terjadi apa-apa terhadap mereka. Karena anak-anak mudah sakit, saya rajin menggantikan baju mereka, agar tidak berlama-lama dengan baju yang basah keringat. Karena mereka sering sakit, saya menjaga betul agar mereka tidak terbiasa makan snack yang tidak sehat, atau minum-minuman bersoda. Karena mereka sering sakit, kami rajin memvakum mainan, kasur, dan ruangan agar tidak berdebu. Kondisi itu memaksa saya pada situasi tertentu harus bersikap tegas terhadap anak-anak, sekalipun sebagai ibu saya jauh dari tipe ibunda yang anggun dan penuh kelembutan atau yang biasanya terlihat pantas dihormati J. Sebab saya lebih suka memposisikan diri sebagai teman yang menyenangkan ketika diajak bermain. Yang mungkin saja melakukan kesalahan dan karenanya tidak perlu malu meminta maaf. Tetapi saya belajar, bahwa ketegasan itu tidak perlu ditegakkan dengan kemarahan, dengan main tangan, atau dengan suara galak. Ketegasan adalah perpaduan dari penerapan reward dan bukan hanya ‘punishment’, serta sikap konsisten terhadap segala sesuatu. Saya kira anak-anak juga belajar dari cara orang tua memperlakukan mereka. Wajah-wajah mungil itu diam-diam mengamati, melakukan analisa, kemudian membuat coret-coret di benak mereka, bagaimana mereka harus bersikap kemudian, khususnya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan J. Saya mencintai anak-anak. Mereka telah memberikan banyak kebahagiaan, dan melepaskan saya dari hati yang pengap, ketika ujian-ujian lain dalam hidup menghampiri. Dan betapa lengkap rasanya bahagia itu, ketika mendapati ekspresi-ekpresi cinta dari keduanya. Dengan semua kebahagiaan itu, rasanya saya tidak pantas mengeluh karena hal-hal lain. Juga untuk kondisi ekonomi yang bertahun-tahun cukup minim. Melewati antrian panjang di ATM dan menemukan saldo rekening yang bahkan tidak mencapai sebelas ribu. Tivi hitam putih yang harus digebrak berkali-kali agar menyala. Bolak-balik ke ‘sekolahan’ sebelum kemudian harus kehilangan perhiasan yang saya miliki ketika gadis, karena tidak mampu menebus cicilan. Hari-hari panjang menemani Caca ataupun Adam ketika mereka berobat jalan, bahkan menginap di rumah sakit. Saya tidak bisa mengeluh, karena saya tahu masih banyak ibu yang melalui situasi yang jauh lebih buruk dari yang saya alami. Biarpun kecil dan penuh sera...
Author

Asma Nadia Education: Bogor Agricultural University (IPB, 1991) Home FAX: +622177820859 email: asma.nadia@gmail.com Working Experiences: I was working as a CEO of Fatahillah Bina Alfikri Publications, and Lingkar Pena Publishing House, before starting AsmaNadia Publishing House (2008) Writing residencies: in South Korea, held by Korean literature translation institute (2006) & and in Switzerland held by Le Chateau de Lavigny (2009) Writing Workshop:
- Conducting a creative writing (novel), Held by Republika News Paper, 2011
- Writing workshop instructor for (novel) participants from Brunei, Singapore, Indonesia, Malaysia, held by South East Asia Literary Council (MASTERA), July, 2011
- Conduct a writing workshop for Indonesia Migrant Workers in Hongkong (2004,2008, 2011), and for Indonesian students in Cairo, Egypt (2001, 2008), and University of Malaysia.
- Giving a creative writing workshop for Indonesian’s students in Tokyo, Fukuoka, Nagoya, Kyoto (November 2009).
- Giving writing workshop in Manchester; Indonesia Permanent Mission in Geneve; Indonesian Embassy in Rome, and for Indonesian students in Berlin (2009)
- Held a writing workshop with Caroline Phillips, a Germany writer, in World Book Day 2008 Performance:
- Performing two poems for educational dvd (Indonesian Language Center) 2011.
- Public reading: (poem) in welcoming Palestine’s writers in Seoul, 2006;
- Public reading short story in Geneve 2009, Performing monologue in Mizan Publishing Anniversary 2008, Ode Kampung Gathering in Rumah Dunia, etc.
Awards and honors:
- Istana Kedua (The Second Palace), the best Islamic Indonesia novel, 2008
- Derai Sunyi (Silent Tear, a novel), won a prize from MASTERA (South East Asia Literary Council), as the best participant in 10 years MASTERA, 2005.
- PREH (A Waiting), play writing published by The Jakarta Art Council, honored as the best script in Indonesian’s Women Playwrights 2005
- Mizan Award for the best fiction writer in 20 Years Mizan (one of Indonesian’s biggest publishers)
- Asma Nadia profile was put as one of the 100 distinguished women publishers, writers and researchers in Indonesia, compiled by well-known literary critic Korrie Layun Rampan, 2001.
- Rembulan di Mata Ibu (The Moon in the Mother’s Eye, short stories collection), won the Adikarya IKAPI (The Indonesian Book Publishers Association) Award, 2001
- Dialog Dua Layar (Two Screen’s Dialogue, a short story collection), won the Adikarya IKAPI (The Indonesian Book Publishers Association) Award, 2002
- 101 Dating, a novel, won the Adikarya IKAPI Award, 2005
- The most influential writer 2010, awarded by Republika News Paper
- BISA Award for helping Indonesia Migrants Workers who wants to be writers (held by Be Indonesia Smart and Active Hongkong)
- Super Woman MAG Award 2010
- One of ten most mompreneurship 2010, by Parents Guide Magazine Summary of translations of work into other languages:
- Abang Apa Salahku (published by PTS Millennia SDN.BHD 2009)
- Di dunia ada surga (published by PTS Millennia SDN.BHD 2009)
- Anggun (published by PTS Millennia SDN.BHD 2010)
- Cinta di hujung sejadah (published by PTS Millennia SDN.BHD 2011)
- Ammanige Haj Bayake (Emak Longs to Take The hajj), NAVAKARNATAKA PUBLICATIONS PVT. LTD, 2010 (in south indian language/Kannada)