
Rasanya seperti bertahun-tahun lalu: ibu yang bercerita dengan harapan supaya aku cepat tertidur, padahal dengan begitu mataku nyalang terbuka! Dulu, kata ibu, orang bisa bepergian ke langit kapan saja jika mau. Ada sebuah tangga kayu ajaib di kaki bukit menembus awan-awan di langit biru. Jika orang langit membutuhkan segenggam garam, mereka akan turun ke bumi—lewat tangga yang terentang panjang—lalu menukarkannya dengan sepotong bara api. Jika orang di bumi membutuhkan cahaya di malam hari, mereka tinggal menukarnya dengan sepenggal nyanyian, maka dengan begitu bulan dan bintang-bintang akan bersinar, dan nyanyian menembus langit akan terdengar. Cerita-cerita kecil di dalam buku ini mewakili kegelisahan saya yang pernah merasa nyaman ketika konvensi-konvensi "short-story" begitu lengkap "terberi"—latar, plot, tokoh—dan saya tinggal mengoperasikannya. Maka muncul keinginan menggoda: bisakah konvensi itu diserpih untuk dijadikan subjek utama? Dari proses inilah—latar untuk kota-kota kecil, plot untuk cerita-cerita kecil—buku ini lahir, menjumpai pembaca. —Raudal Tanjung Banua
Author
