
Sumber yang saya peroleh buat Agama Islam, inilah yang hidup. Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Pada waktu sejarah Islam buat bangsa Indonesia masih boleh dikatakan pagi, diantara keluarga tadi sudah lahir seorang Alim Ulama, yang sampai sekarang dianggap keramat! Ibu Bapa saya keduanya taat dan takut kepada Allah dan menjalankan semua sabda Nabi. Saya saksikan ibu saya sakit menentang malaikat maut menyebut "Djuz Yasin" berkali-kali dan sebagian besar ayat Al-Quran, di luar kepada. Orang kabarkan bapak saya didapati pingsan pada waktu mengambil air sembahyang. Dia sedang menjalankan tarekat, setelah bangun dan sadar, dia bilang berjumpa dengan saya yang pada waktu itu di negeri Belanda. Masih kecil sekali saya sudah bisa tafsirkan Al-Quran, dan dijadikan guru muda. Sang Ibu menceritakan Adam dan Hawa dan Nabi Yusuf. Tidak jarang diceritakannya sejarah piatunya Muhammad bin Abdullah, entah karena apa, mata saya terus basah mendengarnya. Bahasa Arab terus sampai sekarang saya anggap sempurna, kaya, merdu, jitu dan mulia. Madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja tanpa reserve. Menurut dia, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif yang sebenarnya. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka. Lembar demi lembar ditulisnya dalam suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem. Namun, Madiloglah yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya di Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirannya itu di Rawajati (1943).
Author

Tan Malaka (1894 - February 21, 1949) was an Indonesian nationalist activist and communist leader. A staunch critic of both the colonial Dutch East Indies government and the republican Sukarno administration that governed the country after the Indonesian National Revolution, he was also frequently in conflict with the leadership of the Communist Party of Indonesia (PKI), Indonesia's primary radical political party in the 1920s and again in the 1940s. A political outsider for most of his life, Tan Malaka spent a large part of his life in exile from Indonesia, and was constantly threatened with arrest by the Dutch authorities and their allies. Despite this apparent marginalization, however, he played a key intellectual role in linking the international communist movement to Southeast Asia's anti-colonial movements. He was declared a "hero of the national revolution" by act of Indonesia's parliament in 1963.