
"Dalam sebagian besar cerita Damhuri, kampung terungkapkan dalam bahasanya sendiri, bahasa yang mengungkap perbendaharaan kampung, tanpa harus berarti usang, karena baik persoalan, maupun sudut pandang dan pendekatannya, sepenuhnya berpijak pada masa kini. Bagai menjawab suatu nostalgia, sekaligus mengingatkan agar tak terlena…" Seno Gumira Ajidarma, novelis —— Kenduri itu memang semarak, tapi keluarga mempelai laki-laki nyaris meninggalkan helat lantaran aneka juadah yang tersuguh ternyata bukan masakan Makaji, Juru Masak handal itu. Gulai Kambing terasa hambar karena racikan bumbu tidak meresap ke dalam daging. Kuah Gulai Rebung encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut, lebih banyak air ketimbang santan. Maka, berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah. Bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan mempelai tak sedap dipandang mata, tapi karena macam-macam menu yang tersaji tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tapi helat tiada membuat kenyang. Makaji tak mungkin menjadi Juru Masak di kenduri pernikahan Renggogeni dengan lelaki lain. Ngeri ia membayangkan betapa terpiuh-piuhnya perasaan Azrial, anak laki-lakinya, yang mencintai Renggogeni, lebih dari mencintai dirinya sendiri. Tapi Mangkudun (ayah Renggogeni) bulat-bulat menolak pinangan itu; jatuh martabat keluarga kita bila anak Juru Masak itu jadi suamimu…