
Part of Series
Yang Silam dari Peradaban Jawa Kembali kita berjumpa dengan novel karya sang Maestro Indonesia, Remy Sylado. Setelah novel sebelumnya sukses menyapa pembaca melalui FILSAFAT DALAM FIKSI (panjang lebar mengulas sejarah filsafat Barat dan filsafat Timur) kemudian berlanjut novel SINOLOGI DALAM FIKSI (rangkaian sejarah hubungan orang-orang Cina di Indonesia), kali ini JAVANOLOGI DALAM FIKSI (ulasan pemikiran, sejarah dan tamadun bangsa Jawa). Masih seperti sebelumnya, novel ini berkisah tentang Arjuna, perempuan yang menjadi istri mantan Jesuit "murtad” yang berkelana mempelajari paham-paham pemikiran bangsa Jawa. Di dalam novel ini terangkai sebongkok pengetahuan meliputi falfasah, mitologi, ramalan, seni-budaya, budi-pekerti, ke-Hindhu-an, ke-Buddha-an, ke-Kristenan, ke-Islam-an, nyanyian, kesusastraan, kuliner, traveling, kamasutra Hindhu, dan lain sebagainya. Tak ketinggalan wacana seksualitas cukup mendominasi dalam buku ini sehingga sepantasnya memang buku ini hanya layak dibaca untuk kalangan dewasa. Setting kisah ini mengambil Jawa bagian Tengah yang menonjolkan sisi historis peradaban Mataram di era Sultan Agung. Dalam novel ini, Jawa di masa Islam itu pernah mengalami era keemasan dengan prestasi gemilang mewujudkan peradaban Islam—sebuah prestasi yang patut diketahui generasi masa kini. Rekam jejak sejarah yang dikisahkan melalui novel seperti ini menjadikan siapa saja merasa renyah mengunyah pengetahuan ilmiah. (Faiz Manshur, Redaksi Penerbit Nuansa Cendekia).
Author

Remy Sylado lahir di Makassar 12 Juli 1945. Dia salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (Jampi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Dibalik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa. Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi. Dalam karya fisiknya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi. Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “, dan lain-lain. Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi.