Margins
Sajadah Kata book cover
Sajadah Kata
2002
First Published
4.67
Average Rating
128
Number of Pages
Kumpulan puisi relijius yang menarik dan menyentuh
Avg Rating
4.67
Number of Ratings
120
5 STARS
76%
4 STARS
17%
3 STARS
6%
2 STARS
2%
1 STARS
0%
goodreads

Authors

Taufiq Ismail
Taufiq Ismail
Author · 4 books
Taufik Ismail was born in Bukittinggi West Sumatera on June 25, 1935. He was prominent Indonesian writer and made influence in Indonesian literature the post-Sukarno regime. He was one of pioneer Generation of '66. He was complated his education in FKHP University of Indonesia. Before active as a writer, he taught in Institut Pertanian Bogor. In 1964, he assigned Manifesto Kebudayaan and consequence stopped as a teacher by government. He compiled many of poems, the famous are Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya : Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh. Bored with his serious style, in 1970 Taufik created his poems mixed with humor. Taufik has many of regards, such as Cultural Visit Award from Australia government (1977) and South East Asia Write Award from king of Thailand (1994).
Helvy Tiana Rosa
Helvy Tiana Rosa
Author · 44 books

Helvy Tiana Rosa is widely recognized for her works in Indonesian literary and for her relentless efforts to encourage people, especially the young, poor and women, to write and publish their own works. She was born in Medan, 2 April 1970 and had a bachelor and master degree of literature from Letters Faculty of University of Indonesia. She wrote more than 50 books, like Juragan Haji (The Juragan Hajj, 2014), Tanah Perempuan (The Woman’s Land, 2009), Segenggam Gumam (A Graps of Murmur, 2003), Mata Ketiga Cinta (The Third Eyes of Love, 2012) and Ketika Mas Gagah Pergi (When Mas Gagah Leaves, 1997). Some of her works were already translated in English, Japanese, Arabic, Swedish, German, French, and so forth. She was frequently invited to speak and read her works both in Indonesia and abroad, like Malaysia, Brunei, Singapore, Thailand, Hong Kong, Japan, Egypt, Turkey, and USA. In 1990 she established Teater Bening as a director and script writer for the play performances. She was the former editor and the Chief Editor of Annida Magazine and later she involved intensively to help the emergence of writers from different social backgrounds in many cities in Indonesia and abroad through Forum Lingkar Pena (FLP) which was founded by her in 1997. Koran Tempo named her as Lokomotif Penulis Muda, A Locomotive of Young Writers, and The Straits Times named her as a pioneer for contemporary Indonesia Islamic literature (2003). Helvy received more than 40 awards of national level in the field of writing and community empowerment, like A Literary Figure from Balai Pustaka and Majalah Sastra Horison (2013), A Figure of Books of IBF Award from IKAPI (2006), A Literary Figure of Nusantara Islamic Literary Festival (2016), A Literary Figure of Eramuslim Award (2006), Ummi Award (2004), Nova Award (2004), Kartini Award as one of The Most Inspiring Women in Indonesia (2009), and SheCAN! Award (2008). Her poem Fisabilillah was The Winner of Iqra Poetry Writing Competition of National Level in 1992, with the juries: HB Jassin, Sutardji Calzoum Bachri and Hamid Jabbar. Her short story Jaring-Jaring Merah was appointed as one of the best short stories of Sastra Horison Magazine in one decade between 1990 and 2000. Bukavu (LPPH 2008) was a nomination of Khatulistiwa Literary Award in 2008 and she became The Most Favourite Poet, and her work Mata Ketiga Cinta was chosen as as The Most Favourite Poetry Book of Indonesian’s Readers from Goodread Indonesia in 2012. She was arwaded an honour of Anugerah Karya Satya Lencana from the President of the Republic of Indonesia (2016). She became a member of Jakarta Arts Council (2003-2006) and as the Founder and the Advisor of Bengkel Sastra Jakarta and also as a Member of The Southeast Asia Board of Literature (2006-2014). Now, she is a vice chair of Islamic Culture and Art Development Commision, The Council of Islamic Scholars of Indonesia, and a Member Social and Art Commision, The Council of Islamic Women Scholars of Indonesia. Helvy then was listed in 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia (33 People of The Most Influencial Literary Figures in Indonesia) written by Jamal D. Rahman et al (Gramedia, 2014). For nine years, from 2009 to 2017, She was also chosen out of 20 Indonesian people who were listed in 500 People of The Most Influencial Moslem Figures in the World, as research result conducted by Royal Islamic Strategic Studies Centre, in Jordan with several high rank universities in the world. Recently, she took charge as a producer for two movies based on her novel 'Ketika Mas Gagah Pergi." The first movie was released in 2016 under the same name. The sequel 'Duka Sedalam Cinta' is planned to be released in 2017.

Rahmat Abdullah
Rahmat Abdullah
Author · 3 books

KH. Rahmat Abdullah, Dari Kuningan Sampai Bekasi Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam. Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya. Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar. Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at. Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III. Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya. Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu. Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i. Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-t

548 Market St PMB 65688, San Francisco California 94104-5401 USA
© 2025 Paratext Inc. All rights reserved