


Books in series

#1
Soedirman
Seorang Panglima, Seorang Martir
2013
“Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit.” Pagi itu, 19 Desember 1948, Panglima Besar bangkit dan memutuskan memimpin pasukan keluar dari Yogyakarta, mengkonsolidasikan tentara, dan mempertahankan Republik dengan bergerilya.
Panglima Besar sudah terikat sumpah: haram menyerah bagi tentara. Karena ikrar inilah Soedirman menolak bujukan Sukarno untuk berdiam di Yogyakarta. Dengan separuh paru-paru, ia memimpin gerilya. Selama delapan bulan, dengan ditandu, ia keluar-masuk hutan.
Di medan gerilya, Panglima Besar dipercaya bisa bersembunyi dari kejaran Belanda. Mampu menyembuhkan orang sakit dan—konon—menjatuhkan pesawat terbang dengan meniupkan bubuk merica. Aktivis Hizbul Wathan, mantan guru, dan peletak dasar kultur TNI yang ironisnya dulu sempat berkata, ”Saya cacat, tak layak masuk tentara.” Dialah Soedirman: panglima, martir.

#2
Sarwo Edhie dan Misteri 1965
2012
Rangkaian peristiwa sepanjang 1965-66—pembubaran PKI dan pergantian presiden—melambungkan nama Sarwo Edhie Wibowo, sekaligus menjadi titik balik perjalanan hidupnya.
Sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie berperan membumihanguskan Partai Komunis Indonesia pascatragedi 30 September 1965. Dialah yang menggerakkan pasukan khusus Angkatan Darat berkeliling Jawa dan Bali, berbulan-bulan menangkapi tokoh merah di daerah, dan melatih pemuda Nahdlatul Ulama menjadi ujung tombak operasi besar melumpuhkan basis-basis PKI.
Karena dinilai terlalu keras menyudutkan barisan pendukung Sukarno, dia disingkirkan ke Medan, Sumatra Utara, kemudian Papua. Jabatan terakhirnya “hanya” Gubernur Akademi Militer di Magelang. Tapi, disemua pos itu, Sarwo Edhie tetap bersinar, lantang, keras, tanpa kompromi.
Kisah tentang Sarwo Edhie adalah jilid perdana seri “Tokoh Militer” yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo November 2011. Serial ini mengupas, menguak, dan membongkar mitos dan berbagai sisi kehidupan para perwira militer yang dinilai mengubah sejarah.

#3
Rahasia-rahasia Ali Moertopo
2014

#4
Benny Moerdani
yang Belum Terungkap
2015
Hampir tak ada palagan penting di negeri ini yang tak didatangi Leonardus Benjamin Moerdani. Sudah berperang sejak usia 13 tahun, ia berada di garis depan penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta (1958). Ia juga menjadi ikon pembebasan Irian Barat (1962). Saat operasi Ganyang Malaysia (1965), ia menyamar sebagai tukang karcis Garuda di Bangkok.
Di bawah Soeharto, Benny Moerdani menjadi tokoh kon troversial. Dia tampil sebagai jenderal yang garang dalam Peristiwa Woyla (1981), Tragedi Tanjung Priok (1984), dan Operasi “Petrus” (1982), tapi juga terampil di dunia diplomasi dan kepengacaraan. Dia pernah menjadi diplomat di Korea dan memenangkan Indonesia “merebut” harta yang dikorupsi oleh pejabat Pertamina di pengadilan Singapura. Dengan kesaksian Benny yang dilukiskan sebagai “sangat cerdas dan memukau”,
Indonesia berhasil menguasai kembali hasil korupsi sebesar US$76 juta. Hari-hari terakhir hidupnya sulit dibayangkan: jenderal yang tangkas dan trengginas lunglai terkulai di kursi roda. Ia memang selapis babak dalam sejarah kontemporer Indonesia, tapi babak itu tak pernah lengkap, tak pernah jangkap.
Kisah tentang Benny Moerdani adalah jilid keempat seri “Tokoh Militer” yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo Oktober 2014. Serial ini mengupas, menguak, dan membongkar mitos dan berbagai sisi kehidupan para perwira militer yang dinilai mengubah sejarah.

#5
Bung Tomo
Soerabaja di Tahun 45
2016
Sutomo atau Bung Tomo ialah tokoh "pemberontak" termasyhur. Pidato-pidatonya—yang dibuka dan ditutup dengan lagu Tiger Shark karya Peter Hodgkinson asal Inggris—selalu meneriakkan "Allahu Akbar". Sosoknya terekam kuat dalam potret diri yang mengacungkan telunjuk dengan tatapan mata tajam.
Lewat Radio Pemberontakan, suara Bung Tomo berapi-api membakar semangat pejuang Republik Indonesia terhadap tentara Sekutu. Kehadirannya jadi simbol perlawanan dalam pertempuran 10 November 1945. Hingga kini, namanya selalu dikaitkan dengan Hari Pahlawan.
Bibit kepemimpinan Bung Tomo disemai dari keaktifannya dalam organisasi Indonesia Muda dan Kepanduan Bangsa Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, dia menjadi wartawan kantor berita Domei. Sutomo kerap mengkritik Orde Baru, terutama soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selepas masa perjuangan, peran politiknya meredup. Namun, dia masih membela kepentingan buruh dan pedagang kecil yang terancam hak-haknya di pengadilan. Naik haji dengan menggadaikan lukisan, perjalanan hidup Bung Tomo berakhir di Arafah.