Margins
Sesobek Buku Harian Indonesia book cover
Sesobek Buku Harian Indonesia
1993
First Published
4.06
Average Rating
245
Number of Pages

Melihat pentas-pentas drama di negeriku berjudul Pesta Darah di Jember Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo Klaten, Semarang, Surabaya dan Medan Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung Woyla. Ah, ingat ke hari kemarin pentas sandiwara rakyat yang berjudul Komando Jihad Ingat Malari. Ingat beratus pentas drama yang naskahnya tak ketahuan dan mata kita yang telanjang dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan Ini adalah buku kumpulan puisi Emha Ainun Nadjib yang memuat empat kumpulan puisinya terdahulu: “M” Frustasi dan Sajak-Sajak Cinta, Sajak-Sajak Sepanjang Jalan, Nyanyian Gelandangan, dan Sesobek Buku Harian Indonesia.

Avg Rating
4.06
Number of Ratings
89
5 STARS
42%
4 STARS
31%
3 STARS
21%
2 STARS
2%
1 STARS
3%
goodreads

Author

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Author · 31 books

Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat. Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat. Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya. Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya. Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

548 Market St PMB 65688, San Francisco California 94104-5401 USA
© 2025 Paratext Inc. All rights reserved