Margins
Soe Hok Gie book cover
Soe Hok Gie
Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani
2001
First Published
4.22
Average Rating
443
Number of Pages

Dari sejarah pergolakan mahasiswa menentang rezim totaliter Orde Lama Orla) pada dekade 1960-an, bangsa Indonesia patut mencatat dan mengenang satu nama. Ia patut dikenang tidak semata-mata karena andil dan keterlibatannya dalam menyukseskan perjuangan mahasiswa menghancurkan otoritarianisme kekuasaan Orla, tetapi lebih dari itu, ia pantas mendapatkan tempat terhormat di hati dan ingatan warga bangsa karena totalitas perjuangan dan sikap hidupnya yang luar biasa dan mengagumkan dalam upaya menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Sebagai seorang aktivis mahasiswa, ia adalah pribadi yang istimewa. Hal itu tampak melalui cakrawala pemikirannya yang visioner, militansinya yang nyaris tanpa batas, serta komitmennya yang kukuh pada prinsip-prinsip demokrasi dan humanisme universal. Karakter demikianlah yang selanjutnya menghadirkan sosoknya sebagai intelektual dan humanis sejati. Dialah almarhum Soe Hok Gie, sosok intelektual muda pendobrak tirani Orla yang dibahas oleh John Maxwell dalam bukunya, Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Soe Hok Gie bukanlah nama yang populer. Bahkan, sebagai aktivis mahasiswa, sosoknya hanya dikenal oleh komunitas masyarakat terbatas. Pikiran dan sepak terjang perjuangannya tidak banyak diketahui publik di Tanah Air. Menurut penulisnya, hal itu karena kendati pernah terlibat secara aktif dalam politik, ia berbeda dengan para tokoh politik dari generasinya. Ia tidak mencurahkan seluruh hidupnya untuk politik. Kehidupannya yang tergolong singkat, yakni hanya 27 tahun, juga tidak banyak memberikan peluang padanya untuk mengukir prestasi gemilang, baik secara individual maupun politis. Walau demikian, menyimak kegigihan perjuangannya, sukar untuk membantah bahwa anak muda ceking keturunan Tionghoa itu adalah seorang intelektual dan pejuang yang luar biasa. Dalam konteks demikian, selain menambah khazanah studi Indonesia modern tentang biografi tokoh-tokoh politik, penerbitan buku ini juga memperluas peluang publik untuk lebih memahami pandangan dan sepak terjang politik adik kandung sosiolog Arief Budiman ini. Lebih dari itu, buku ini memiliki nuansa lain dibandingkan dengan biografi tokoh-tokoh politik yang telah ada sebelumnya semisal biografi tentang Soekarno, Hatta, Sjahrir, ataupun Soeharto. Karena berbeda dengan biografi-biografi tersebut, yang notabene mengulas para tokoh politik terkemuka, biografi yang satu ini justru membedah seorang tokoh "minor" dalam politik Indonesia. Minor dalam pengertian, meskipun merupakan salah satu tokoh dalam pergerakan mahasiswa dekade 1960-an, ketokohan politiknya tidak pernah dikenal luas di Indonesia. Posisinya dalam peta politik nasional pun tidak pernah cukup sentral jika dibandingkan dengan para tokoh di atas. Selalu Memberontak Maxwell melukiskan, sebagai intelektual, komitmen Soe Hok Gie untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tidak perlu disangsikan lagi. Jiwanya selalu memberontak tatkala menyaksikan berbagai praktek dehumanisasi, pengingkaran demokrasi, dan pelecehan terhadap akal sehat. Keberpihakannya pada nilai-nilai prinsipil itu membuatnya tidak memedulikan siapa pun yang mesti dihadapinya dan risiko apa pun yang bakal menimpanya. Yang ia kehendaki hanyalah "yang lurus-lurus" saja. Sebagai intelektual non-partisan, demikian Maxwell, loyalitasnya hanyalah pada nilai-nilai, melampaui segala sekat dan kepentingan. Ia adalah intelektual bebas yang tidak terjebak pada interest tertentu, entah itu kapital, kuasa, ataupun pamrih politis. Sikap antinya terhadap ketidakadilan sesungguhnya telah tumbuh sejak usia dini. Sementara, benih perlawanannya terhadap penguasa Orla berawal saat ia masih duduk di bangku SMA. Suatu ketika, ia bertemu dengan seseorang, yang jika dilihat dari penampilannya, bukanlah pengemis. Namun, orang itu kelaparan, dan untuk mengobati rasa laparnya, orang itu terpaksa makan kulit mangga. Karena tak tega, Hok Gie akhirnya memberikan seluruh uang yang dimilikinya pada orang itu. Sebenarnya pengalaman itu bukanlah hal yang luar biasa di Jakarta. Menjadi luar biasa karena peristiwa itu terjadi tak jauh dari istana kepresidenan, tempat yang saat itu menjadi simbol kemewahan dan keglamoran. Kenyataan pahit itu semakin mengentalkan kebenciannya kepada penguasa Orla. Sikap kritisnya terhadap pemerintah Orla semakin mengental saat ia menjadi mahasiswa UI, bertepatan dengan kian menguatnya otoritarianisme dalam politik dan kegagalan pemerintah dalam mengatasi perekonomian Indonesia yang merosot tajam. Dalam berbagai refleksi kritisnya di media massa, peme-rintah Orla senantiasa jadi sasaran utama kritikannya. Ketidakpuasannya terhadap berbagai pembatasan kebebasan berbicara yang dilakukan oleh Demokrasi Terpimpin melalui sensor pers dan pelecehan terhadap lawan-lawan politik bung Karno membuatnya semakin intensif melontarkan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Orla. Mengin...

Avg Rating
4.22
Number of Ratings
271
5 STARS
52%
4 STARS
28%
3 STARS
13%
2 STARS
4%
1 STARS
3%
goodreads

Authors

Soe Hok Gie
Soe Hok Gie
Author · 7 books

Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997). Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Hok Gie meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, di puncak Gunung Semeru akibat menghirup asap beracun gunung tersebut. John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997). Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film Gie.

548 Market St PMB 65688, San Francisco California 94104-5401 USA
© 2025 Paratext Inc. All rights reserved