
Triyanto Triwikromo menyajikan bahasa yang benar-benar kuat, agar melalui bahasa, secara tersirat ia dapat menyampaikan pandangan-pandangannya...Penguatan bahasa, sekali lagi, menjadi kunci sentral, dan karena itu, form menjadi lebih eksplisit daripada content. (Prof.Dr.Budi Darma, sastrawan dan kritikus) Menakjubkan dengan dua ketukan—-itulah yang dicapai oleh Triyanto Triwikromo dengan cerita-cerita pendek ini.... Agaknya kumpulan cerita pendek ini berangkat dari premis bahwa hidup tidak gila, tetapi kegilaan itu bisa indah, dan dalam saat-saatnya yang paling baik, bisa menakjubkan.(Goenawan Mohamad, penyair dan kritikus) Triyanto Triwikromos' stories take magic realism to a new realm. Strange and familiar, wild and surreal, they wake up the dead, breath life into living and challenge us to remember what we would rather forget. 9Jan Cornall, novelist and performer, Australia) Dunia sastra—-minimal dunia cerpen—-Indonesia saya kira boleh memproklamasikan Triyanto Triwikromo sebagai pembaharu. Kelembutan spiritual dan kekejaman kekerasan jalin menjalin dalam bentuk yang kreatif dan inovatif dalam buku ini. (K.H. A. Mustofa Bisri, Kiai Ponpes Raudlatut Thalibien, Rembang)
Author

Triyanto Triwikromo (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964; umur 50 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Redaktur sastra Harian Umum Suara Merdeka dan dosen Penulisan Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, ini kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di Lampung (2003). Ia juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang (1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta (2003), dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia. Cerpennya Anak-anak Mengasah Pisau direspon pelukis Yuswantoro Adi menjadi lukisan, AS Kurnia menjadi karya trimatra, pemusik Seno menjadi lagu, Sosiawan Leak menjadi pertujukan teater, dan sutradara Dedi Setiadi menjadi sinetron (skenario ditulis Triyanto sendiri). Penyair terbaik Indonesia versi Majalah Gadis (1989) ini juga menerbitkan puisi dan cerpennya di beberapa buku antologi bersama.