Margins
Untuk Negeriku book cover 1
Untuk Negeriku book cover 2
Untuk Negeriku book cover 3
Untuk Negeriku
Series · 3 books · 2010-2011

Books in series

Bukittinggi - Rotterdam Lewat Betawi book cover
#1

Bukittinggi - Rotterdam Lewat Betawi

2010

Saat aku duduk di kelas III, Pak Gaekku akan pergi ke Mekkah dan aku akan dibawanya menurut rencana yang sudah ditetapkan. Tetapi, beberapa minggu sebelum berangkat, ada desakan dari ibuku dan pamanku, supaya jangan aku yang ikut serta, melainkan pamanku yang bungsu, Idris. Aku dianggap terlalu muda untuk pergi ke Mekkah, sedangkan pengajian Al Quran belum tamat. Menurut pamanku, lebih baik aku tamat sekolah dulu. Sesudah khatam Quran dan mulai mengaji Nahu dengan mengerti sedikit-sedikit bahasa Arab, barulah pergi ke Mekkah dan kemudian ke Kairo. Alasan itu diterima oleh Pak Gaekku dan ia berangkat ke Mekkah dengan Idris, pamanku. Ayah Gaekku di Batuhampar tidak setuju dengan perubahan rencana itu, tetapi sebagai seorang ahli tarekat, akhirnya ia mengalah juga. "Ini barangkali sudah takdir Allah," katanya. Tetapi ia selalu berharap supaya didikanku betapa juga berbelok-belok jalannya, akan berakhir di Al Azhar. "Ikhtiar dijalani, takdir menyudahi," katanya lagi. Ia dapat menghargai "pengetahuan dunia," tetapi pengetahuan agama lebih besar nilainya. Masyarakat hanya dapat menjadi baik dengan bimbingan agama.
Berjuang dan Dibuang book cover
#2

Berjuang dan Dibuang

2011

Terhadap mereka yang mengkritik hadirnya kami pada Kongres di Bierville itu, kami ingin menyatakan bahwa kehadiran kami itu menunjukkan kepada kaum demokrasi Barat bahwa ada hubungan yang tidak dapat diputus antara dasar kemanusiaan dengan perjuangan revolusioner untuk kemerdekaan bangsa. Langkah pertama untuk memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama "Indonesia" tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. Orang-orang Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut "Hindia Belanda", kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka ke luar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka sebut "Indonesia". Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam agenda pimpinan Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar kembali dengan "Indes-neerlandaises".
Menuju Gerbang Kemerdekaan book cover
#3

Menuju Gerbang Kemerdekaan

2011

Sukarno berkata, "Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah." Aku menjawab, "Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya." Semanya setuju, kalimat pertama diambil dari akhir alinea ketiga rencana Pembukaan UUD yang mengenai Proklamasi. Lalu, kalimat pertama itu menjadi, "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia." Namun, aku mengatakan, kalimat itu hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebab itu, mesti ada komplemennya yang menyatakan bagaimana caranya menyelenggarakan revolusi nasional. Lalu, aku mendiktekan kalimat yang berikut, "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya." Setelah bertukar pikiran sebentar, teks itu disetujui oleh kami berlima yang menjadi panitia kecil.

Author

Mohammad Hatta
Mohammad Hatta
Author · 10 books

Latar Belakang dan Pendidikan Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – wafat di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Perjuangan Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan. Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania. Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya. Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur

548 Market St PMB 65688, San Francisco California 94104-5401 USA
© 2025 Paratext Inc. All rights reserved