
Seseorang bisa sadar membaca karya-karya tertentu dan mengabaikan karya-karya lain. Kadangkala bersifat acak dan tanpa sadar. Tergantung bagaimana ia memperoleh akses terhadap bacaan, maupun bias-bias pra-keputusan membaca. Orang bisa dengan sadar membaca lebih banyak karya penulis-penulis minoritas (baik secara genre, orientasi seks, etnik, bahasa, dan lainnya). Tapi tetap tanpa sadar dibentuk oleh apa yang disediakan toko buku atau industri buku terjemahan, jika sang pembaca kebetulan hanya menguasai bahasa ibunya. Tulisan-tulisan di buku ini, juga buku sebelumnya (Senyap yang Lebih Nyaring, 2018), merupakan hamparan terbuka sejarah kesusastraan personal saya, yang dibentuk oleh pilihan bacaan secara sadar dan tanpa sadar. Tulisan-tulisan tersebut secara langsung menggambarkan cara pandang saya terhadap sejarah kesuastraan (dan pada akhirnya terhadap Sejarah dengan “S” besar, sejarah yang lebih luas). Bisa juga dilihat sebagai usaha kecil untuk mencatat… Semacam usaha menulis silsilah bacaan. Di titik tertentu mungkin kita berkerabat; di titik lain, siapa tahu, leluhur bacaan kita saling menikam.
Author

Eka Kurniawan was born in Tasikmalaya in 1975 and completed his studies in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University. He has been described as the “brightest meteorite” in Indonesia’s new literary firmament, the author of two remarkable novels which have brought comparisons to Salman Rushdie, Gabriel García Márquez and Mark Twain; the English translations of these novels were both published in 2015—Man Tiger by Verso Books, and Beauty is a Wound by New Directions in North America and Text Publishing in Australia. Kurniawan has also written movie scripts, a graphic novel, essays on literature and two collections of short stories. He currently resides in Jakarta. Eka Kurniawan, seorang penulis sekaligus desainer grafis. Menyelesaikan studi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Karyanya yang sudah terbit adalah empat novel: Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), dan O (2016); empat kumpulan cerita pendek: Corat-coret di Toilet (2000), Gelak Sedih (2005), Cinta Tak Ada Mati (2005), dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015); serta satu karya non fiksi: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999).