
Remy Sylado telah merampungkan novel terbarunya Mimi Lan Mintuna. Dalam novel ini Remy membeberkan jatuh-bangun kesetiaan sepasang suami-istri di tengah buasnya mafia perdagangan perempuan. Kesetiaan mereka tandas sampai akhir bagaikan pasangan mimi dan mintuna. Sang Mimi dan Sang Mintuna dalam kisah ini ialah Petruk dan Indayati. Petruk ialah preman kelas kampung yang kasar pada istrinya, Indayati. Rumahtangga mereka sarat kekerasan. Ia lantas ditembak oleh pembunuh bayaran namun bisa lolos dari maut dan pilih bertobat. Tapi pertobatan Petruk terlambat. Istri tercinta telah pergi dan belakangan diangkut ke mancanegara oleh sindikat pedagang perempuan internasional. Mafia itu memaksa Indayati menjadi bintang film porno sekaligus pemuas nafsu gasang lelaki hidung belang. Mengira hanya menghadapi segelintir preman kampung, Petruk pun bertekad membebaskan Indayati untuk merajut kembali mahligai rumahtangga yang koyak. Nyatanya, Petruk dan Indayati harus melawan kejamnya bandit-bandit multinasional, berlipat-lipat lebih ganas daripada preman kampung yang menembak Petruk. Sanggupkah Sang Mimi dan Sang Mintuna ini lolos dari kebuasan sindikat pedagang perempuan internasional? DDC: 813
Author

Remy Sylado lahir di Makassar 12 Juli 1945. Dia salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (Jampi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Dibalik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa. Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi. Dalam karya fisiknya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi. Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “, dan lain-lain. Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi.