


Books in series

#1
LEKRA dan Geger 1965
2014
Pada 17 Agustus 1950, di Jakarta, sejumlah seniman dan politikus membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Melalui konsep seni untuk rakyat, Lekra mengajak para pekerja kebudayaan mengabdikan diri untuk revolusi Indonesia.
Hubungannya yang erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menyeret lembaga ini ke tengah pusaran konflik politik. Ketika PKI digdaya, yang bukan Lekra diganyang. Sebaliknya, ketika zaman berubah, khususnya pasca Geger 1965, yang Lekra dihabisi.
Inilah sepenggal sejarah gagasan Indonesia, ketika seni amat digelorakan sekaligus dikerangkeng.

#2
60 Tahun Konferensi Asia-Afrika
2015
Minggu, awal April 2015. Sekitar 3.500 orang dari berbagai—lapisan—warga sipil, polisi, dan tentara—tumpah-ruah memenuhi Jalan AsiaAfrika, Bandung. Mereka bersih-bersih untuk menyambut tamu Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA). “Ribuan warga Bandung mau menjadi apa saja untuk acara ini,” kata Wali Kota Bandung RidwanKamil. Ada yang sukarela menjadi pemandu tamu, fotografer, sampai penjaga keamanan; tak sedikit yang menyokong dana renovasi untuk Hotel Swarha, menyumbang pot bunga, hingga akik untuk suvenir. Demikianlah semangat Bandung 1955 hidup kembali tak hanya di kalangan pemimpin negaratetapi juga warga biasa.
Menengok kembali 60 tahun silam, Tempo mengungkap hal-hal yang belum begitu banyak ditulis seputar KAA. Misal, kisah seru kedatangan Perdana Menteri Cina Zhou Enlai yang diwarnai berita pesawat yang ia tumpangi meledak. Lalu, benarkah ada ‘Komite Ramah Tamah’ yang disiapkan untuk para delegasi? Juga cerita bagaimana Sukarno berusaha meyakinkan Roeslan Abdulgani dan Ali Sastroamidjodjo agar merenovasi Gedung Merdeka tetapi gagal.
Dipaparkan pula potensi kerja sama SelatanSelatan yang mungkin kita kembangkan ke depan. Apakah minyak kelapa sawit, produk kayu, bahan bangunan, olahan kulit, atau justru batik? Bagaimanapun, Semangat Bandung 1955 adalah kerja sama dan sinergi dari para underdog. Dan kita ingin api itu tetap bernyala!

#3
Antropologi Kuliner Nusantara
2015
Keberagaman masakan Indonesia tak muncul begitu saja. Orang Manado menyukai cabai seperti mereka menyukai garam tentu bukan karena Tuhan menciptakan lidah mereka berbeda dengan lidah orang Yogyakarta. Ada cerita di balik itu semua.
Ada kisah kenapa orang Maluku tidak terlalu banyak memakai rempah, padahal negeri mereka merupakan tempat tumbuh berbagai jenis tanaman beraroma itu. Berkeliling ke tujuh penjuru negeri—Maluku Utara, Aceh, Sumatra Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara—Tempo mengajak kita berwisata kuliner dalam pengertian luas: mendatangi kebun-kebun rimbun tempat bahan makanan ditanam, mengunjungi pasar untuk bertemu dengan masyarakat, berbincang dengan banyak orang, mampir ke rumah penduduk lokal untuk melihat proses memasak sejak awal, dan akhirnya mengikuti tata cara mereka menikmati hidangan. Tentu juga tak ketinggalan ada beberapa tip perjalanan, ulasan kedai-kedai terenak dan terunik, serta catatan racikan bumbu kuliner khas.

#4
Chairil Anwar
Bagimu Negeri Menyediakan Api
2016
...
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Petilan sajak berjudul “Diponegoro” di atas ditulis Chairil Anwar pada Februari 1943. Dengan mengungkap sosok Diponegoro―putra tertua Sultan Hamengku Buwono III―yang kuat dan liat menghadapi Belanda, Chairil menggelorakan kembali semangat juang. Sikapnya melawan kolonialisme tegas, seperti terungkap dalam puisi itu dan menjadi kutipan populer: sekali berarti, sudah itu mati.
Jiwa nasionalisme Chairil berkembang dalam kondisi zaman penjajahan Jepang. Ia menyatakan menentang penjajah saat berpidato di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1943. Sesudah kemerdekaan, sikap juangnya semakin kuat terlukis dalam puisi-puisinya yang lahir bukan hanya berdasar perenungan di balik meja. Peristiwa agresi militer Belanda I pada 21 Juli 1947 direkam Chairil dalam sajak berjudul “Krawang-Bekasi”. Kala itu, ia terlibat langsung dalam pertempuran. “Persetujuan dengan Bung Karno”, puisinya yang lain, menggambarkan pula suasana pergolakan setelah kemerdekaan 1945.
Tapak berkesenian Chairil yang demikian mencuatkan namanya sebagai pelopor angkatan 45 yang mendobrak angkatan sebelumnya. Chairil sendiri yang memilih “angkatan 45” untuk menyebut generasi seniman dan sastrawan sesudah masa perang. Baru sesudah ia meninggal pada 1949, banyak sastrawan menabalkan Chairil sebagai simbol angkatan 45.
Ia adalah penulis yang sangat produktif. Meninggal di usia 27, namun sepanjang hidupnya yang singkat itu ia telah membuat 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Terkenal dengan potret diri yang ikonik dalam pose mengisap sebatang rokok, Chairil menghasilkan sajak-sajak yang memperkaya khazanah sastra Indonesia.

#5
Jalan Pos Daendels
2017
Membentang dari Anyer, Jawa Barat sampai Panarukan, Jawa Timur, Jalan Raya Pos dibangun hanya dalam setahun, 1808-1809. Kala itu, Herman Willem menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Buku ini mengisahkan liputan Tempo menyusuri ruas-ruas Jalan Raya Pos. Ada kawasan tempat perkebunan pekerja rodi di zaman Daendels, yang juga makam jenazah korban penembakan misterius Orde Baru. Terdapat pula kelenteng-kelenteng yang setiap Cap Go Meh menggelar arak-arakan melewati Jalan Pos Daendels. Tak hanya itu, tersaji kisah pencarian awal stasiun pos Daendels di Serang, Banten, serta lokalisasi di sepanjang Pantai Utara Jawa.