Margins
Seri Ilmu Hidup book cover 1
Seri Ilmu Hidup book cover 2
Seri Ilmu Hidup book cover 3
Seri Ilmu Hidup
Series · 3 books · 2007-2008

Books in series

Istriku Seribu book cover
#1

Istriku Seribu

2007

Penduduk negeriku malas belajar sejarah, ogah berpikir, tidak pernah merasa penting untuk mempelajari suatu persoalan melalui pertimbangan pemikiran yang saksama. Kalau ada buah busuk, mereka beramai-ramai sibuk mengutuknya, membuangnya, menghina buah itu, tanpa sedikit pun ingat pada pohonnya apalagi akarnya, terlebih lagi tanahnya—jangankan lagi pencipta tanah itu. \\\* Istriku Seribu merupakan essay yang ditulis Cak Nun dalam meletakkan isu poligami pada konteks kehidupan bermasyarakat. Alih-alih tenggelam dalam debat tanpa ujung mengenai poligami dan kehidupan rumah tangga, dalam buku ini, kita akan diajak mengikuti dialektika satir antara Yai Sudrun dan Cak Nun. Mulai dari asal mula turunnya ayat yang mengatur poligami, kewajiban manusia terhadap sesamanya, prasangka manusia yang membutakan, hingga konsep cinta dalam berbagai bentuk. Bersama keseribu istrinya, istri ar-rahman dan ar-rahim, Cak Nun mengajak kita untuk memetakan kembali batasan dan perintah Tuhan yang sesungguhnya dibuat untuk memancing akal manusia.
Orang Maiyah book cover
#2

Orang Maiyah

2007

Orang Maiyah adalah orang yang membaca dirinya berulang-ulang, ribuan kali. Di dalam Maiyah tak ada guru dan murid. Semua orang adalah murid, sang penghendak ilmu. Hidup orang Maiyah tidak tergantung kekayaan dan atau kemiskinan, tetapi tergantung pada proses pembelajaran menggunakan akal dan nuraninya untuk menyutradarai hidup menuju yang pantas dituju. \\\* Orang Maiyah menunjukkan kepada kita bahwa Cak Nun bukanlah satu-satunya tokoh kunci. Cak Nun bukanlah orang suci yang berusaha mencerahkan bumi. Buah pikirannya tertransfer kepada orang-orang Maiyah lainnya, yang kemudian melanjutkannya lagi kepada orang-orang di sekitar mereka. Orang Maiyah adalah orang-orang yang ikhlas dan mau berpikir. Bagi orang Maiyah, tanggal 17 menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu. Dengan wajah cerah dan energi melimpah, mereka berkumpul selama lima hingga tujuh jam di suatu tempat, tanpa rasa lelah dan terpaksa. Lalu, apa yang sesungguhnya membuat mereka bertahan? Buku ini merangkum dialog Cak Nun dan tujuh orang Maiyah lainnya dalam menginternalisasi peran forum Maiyah dalam keseharian hidup mereka.
Kagum pada Orang Indonesia book cover
#3

Kagum pada Orang Indonesia

2008

Para pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti :terjebak" dalam memperspsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk seluruh dunia membayangkan Indonesia adalah kampung-kampung setengah hutan yang kumuh, banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan karena berbagai macam sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelapan. Padahal di muka bumi tak ada orang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget-joget gembira siang malam melebihi orang Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, ngeses baass buuss bass buuss, jagokan, kenduri, serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat kita dan yang budaya semacam itu sungguh memang hanya terdapat di kepulauan Nusantara, Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Indonesia. Tak ada hamparan mobil-mobil mewah melebihi yang terdapat di Indonesia. Import sepeda motor apa saja dijamin laku, berapa juta pun yang kau datangkan ke negeri ini.

Author

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Author · 31 books

Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat. Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat. Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya. Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya. Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

548 Market St PMB 65688, San Francisco California 94104-5401 USA
© 2025 Paratext Inc. All rights reserved
Seri Ilmu Hidup