
Part of Series
Muna Masyari dan Faisal Oddang (cerpennya “Di Tubuh Tara, dalam Rahim Pohon” menjadi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2014), adalah generasi terbaru dalam deretan para cerpenis yang menulis di Kompas. Ketika menjadi pemenang, cerpen karya Oddang baru pertama kali lolos dari seleksi para editor fiksi. Generasi ini ditambahi pula deretan para penulis yang lahir dari workshop dan kemudian Kelas Cerpen Kompas. Nama-nama mereka antara lain Lina PW, Rika, dan Wisnu Sumarwan. Ketiganya, tidak hanya berhasil menembus saringan para editor Kompas Minggu, tetapi juga karya mereka terpilih dalam buku ini. Di samping Oddang, Muna, Lina, Rika, Wisnu, masih ada sederet generasi baru yang menulis di Kompas. Sebut misalnya, Miranda Seftiana, dan I Putu Supartika, yang karyanya juga terdapat dalam antologi ini. Generasi terbaru, para penulis yang bisa diidentifikasi memiliki tahun kelahiran antara akhir 1980-an sampai 1990-an ini, kini bercampur-baur dengan generasi pendahulu mereka seperti Budi Darma, Sori Siregar, Ahmad Tohari, Putu Wijaya, Martin Aleida, Seno Gumira Ajidarma, Indra Tranggono, Triyanto Triwrikromo, Agus Noor, Gde Aryantha Soethama, Gus tf Sakai, serta beberapa nama lainnya.
Authors

Djenar Maesa Ayu started her writings on many national newspapers. Her first book "Mereka Bilang Saya Monyet!" has been reprinted more than 8 times and shortlisted on Khatulistiwa Literary Award 2003. Her short story “Waktu Nayla” awarded the best Short Story by Kompas in 2003, while “Menyusu Ayah” become The Best Short Story by Jurnal Perempuan and translated to English by Richard Oh with title “Suckling Father”. Her second book "Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)" was launch February 2005 and also received great success. The amazing part is this book reprinted two days after the launching. Other books by Djenar: * Nayla * Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek

Triyanto Triwikromo (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964; umur 50 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Redaktur sastra Harian Umum Suara Merdeka dan dosen Penulisan Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, ini kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di Lampung (2003). Ia juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang (1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta (2003), dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia. Cerpennya Anak-anak Mengasah Pisau direspon pelukis Yuswantoro Adi menjadi lukisan, AS Kurnia menjadi karya trimatra, pemusik Seno menjadi lagu, Sosiawan Leak menjadi pertujukan teater, dan sutradara Dedi Setiadi menjadi sinetron (skenario ditulis Triyanto sendiri). Penyair terbaik Indonesia versi Majalah Gadis (1989) ini juga menerbitkan puisi dan cerpennya di beberapa buku antologi bersama.

Agus Noor, menulis banyak prosa, cerpen, naskah lakon (monolog dan teater) juga skenario sinetron. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain, Memorabilia, Bapak Presiden yang Terhormat, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak Setia), Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos. Karya-karya Agus Noor yang berupa cerpen juga banyak terhimpun dalam beberapa buku, antara lain: Jl. Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Ripin (Cerpen Kompas Pilihan, 2007), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia, (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Pembisik (Cerpen-cerpen terbaik Republika), 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (Pena Kencana), dll. Menerima penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada Festival Kesenian Yogyakarta 1992. Mendapatkan sertifikat Anugerah Cerpen Indonesia dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1992 untuk tiga cerpennya: “Keluarga Bahagia”, “Dzikir Sebutir Peluru” dan “Tak Ada Mawar di Jalan Raya”. Sedang cerpen “Pemburu” oleh majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai salah satu karya terbaik yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000. Dan cerpen “Piknik” masuk dalam Anugerah Kebudayaan 2006 Departemen Seni dan Budaya untuk kategori cerpen.

Faisal Oddang was born on 18th September 1994. He finished his study in Universitas Hasanuddin, focusing on Indonesian Literature. His books are: Poetry Collection Perkabungan untuk Cinta (Mourning for Love) and Manurung was shortlisted for Khatulistiwa Literary Award 2018, Novels: Tiba Sebelum Berangkat (Arriving Before Departing) was shortlisted for Khatulistiwa Literary Award 2018, Puya ke Puya (From One Heaven to Another) won 4th place in Jakarta Art Council Novel Competition 2014 and was chosen as the best novel in 2015 by Tempo Magazine. He achieved: Robert Bosh Stiftung and Literary Colloquium Berlin Grants 2018, Iowa International Writing Program 2018, Asean Young Writers Award 2014, Best Short Stories Writers 2014 by Kompas Daily, Prose Writer of The Year 2015 by Tempo Magazine, Best Essayist in Asean Literary Festival 2017. He was invited as a speaker in Ubud Writers and Readers Festival 2014, Salihara International Literary Biennale 2015 and Makassar International Writers Festival 2015, and participated in writer’s residency 2016 in Netherland by Indonesian National Book Committee. Email: faisaloddang@gmail.com

Putu Wijaya, whose real name is I Gusti Ngurah Putu Wijaya, is an Indonesian author who was born in Bali on 11 April 1944. He was the youngest of eight siblings (three of them from a different father). He lived in a large housing complex with around 200 people who were all members of the same extended family, and were accustomed to reading. His father, I Gusti Ngurah Raka, was hoping for Putu to become a doctor, but Puti was weak in the natural sciences. He liked history, language and geography. Putu Wijaya has already written around 30 novels, 40 dramas, about a hundred short stories, and thousands of essays, free articles and drama criticisms. He has also produced film and soap-opera scripts. He led the Teater Mandiri theatre since 1971, and has received numerous prices for literary works and soap-opera scripts. He's short stories often appear in the columns of the daily newspapers Kompas and Sinar Harapan. His novels are often published in the magazines Kartini, Femina and Horison. As a script writer, he has two times won the Citra prize at the Indonesian Film Festival, for the movies Perawan Desa (1980) and Kembang Kertas (1985).

Ahmad Tohari is Indonesia well-knowned writer who can picture a typical village scenery very well in his writings. He has been everywhere, writings for magazines. He attended Fellowship International Writers Program at Iowa, United State on 1990 and received Southeast Asian Writers Award on 1995. His famous works are trilogy of Srintil, a traditional dancer (ronggeng) of Paruk Village: "Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", and "Jantera Bianglala" On 2007, he releases again "Ronggeng Dukuh Paruk" in Java-Banyumasan language which is claimed to be the first novel using Java-Banyumasan. Toward his effort, he receives Rancage Award 2007. The book is only printed 1,500 editions and sold out directly in the book launch. Bibliography: * Kubah (novel, 1980) * Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) * Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985) * Jantera Bianglala (novel, 1986) * Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986) * Senyum Karyamin (short stories, 1989) * Bekisar Merah (novel, 1993) * Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995) * Nyanyian Malam (short stories, 2000) * Belantik (novel, 2001) * Orang Orang Proyek (novel, 2002) * Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004) * Mata yang Enak Dipandang (short stories, 2013)

Martin Aleida adalah seorang sastrawan yang lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada 1943. Nama aslinya adalah Nurlan. Martin mengawali karirnya sebagai wartawan di harian Zaman Baru. Profesi inilah yang mengantarkannya ke penjara, ditangkap oleh Orde Baru karena koran tersebut diterbitkan oleh Lembaga Kesenian Rakyat. Menempuh studi lingustik di Georgetown University, Washingotn D.C, Amerika Serikat, Martin pernah bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sejumlah media massa, diantaranya Majalah Tempo di Jakarta. Kini, ia aktif sebagai anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2009 – 2012.

Radhar Panca Dahana (lahir di Jakarta, 26 Maret 1965; umur 45 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia menyelesaikan Program S1 Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia (1993) dan studi Sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Perancis (2001). Radhar memulai debut sebagai sastrawan sejak usia 10 tahun lewat cerpennya di Harian Kompas, "Tamu Tak Diundang". Lalu, menapak karier jurnalistik sebagai redaktur tamu malalah Kawanku (1977), reporter lepas hingga pemimpin redaksi di berbagai media seperti Hai, Kompas, Jakarta Jakarta, Vista TV, dan Indline.com. Kini, penjaga rubrik Gagasan di Harian Kompas dan pengajar di Universitas Indonesia. source: wikipedia

Budi Darma lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Semasa kecil dan remaja ia berpindah-pindah ke berbagai kota di Jawa, mengikuti ayahnya yang bekerja di jawatan pos. Lulus dari SMA di Semarang pada 1957, ia memasuki Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Lulus dari UGM, ia bekerja sebagai dosen pada Jurusan Bahasa Inggris—kini Universitas Negeri Surabaya—sampai kini. Di universitas ini ia pernah memangku jabatan Ketua Jurusan Inggris, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, dan Rektor. Sekarang ia adalah guru besar dalam sastra Inggris di sana. Ia juga mengajar di sejumlah universitas luar negeri. Budi Darma mulai dikenal luas di kalangan sastra sejak ia menerbitkan sejumlah cerita pendek absurd di majalah sastra Horison pada 1970-an. Jauh kemudian hari sekian banyak cerita pendek ini terbit sebagai Kritikus Adinan (2002). Budi Darma memperoleh gelar Master of Arts dari English Department, Indiana University, Amerika Serikat pada 1975. Dari universitas yang sama ia meraih Doctor of Philosophy dengan disertasi berjudul “Character and Moral Judgment in Jane Austen’s Novel” pada 1980. Di kota inilah ia menggarap dan merampungkan delapan cerita pendek dalam Orang-orang Bloomington (terbit 1980) dan novel Olenka (terbit 1983, sebelumnya memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1980). Ia juga tampil sebagai pengulas sastra. Kumpulan esainya adalah Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Harmonium (1995). Setelah Olenka, ia menerbitkan novel-novel Rafilus (1988) dan Ny. Talis (1996). Belakangan, Budi Darma juga menyiarkan cerita di surat kabar, misalnya Kompas; pada 1999 dan 2001 karyanya menjadi cerita pendek terbaik di harian itu. Cerpennya, "Laki-laki Pemanggul Goni," merupakan cerpen terbaik Kompas 2012. Dalam sebuah wawancara di jurnal Prosa (2003), lelaki yang selalu tampak santun, rapi, dan lembut-tutur-kata ini sekali lagi mengakui, “...saya menulis tanpa saya rencanakan, dan juga tanpa draft. Andaikata menulis dapat disamakan dengan bertempur, saya hanya mengikuti mood, tanpa menggariskan strategi, tanpa pula merinci taktik. Di belakang mood, sementara itu, ada obsesi.”